06 Mei 2011

Janganlah Pula Layu

Terbukti bahwa bank adalah bank. Sebahagian besar. Apapun namanya, betapapun indahnya rangkaian kata dalam motto dan visinya, bank adalah lembaga yang mengejar uang dengan uang. Memburu uang dengan kepeang. Pada umumnya pemilik bank hanya peduli dengan besarnya deviden. Selalu ada tekanan kepada direksi untuk memacu keuntungan dan meningkatkan deviden. Direksi yang berhasil menggelembungkan deviden, biasanya bernasib baik. Langeng jabatannya. Oleh karenanya Direksi bank pada umumnya lebih fokus untuk memburu laba. Akibatnya Kepala Divisi dan para manajer menengah pada setiap bank memainkan uang, "mengolah" NPL (Non Performing Loan) dan asset lainnya untuk memberikan sumbangan terhadap penggelembungan laba pada setiap akhir tahun. Lalu ada lagi berbagai cara dan mengembangkan macam-macam produk dengan prinsip "peluang fee". Bermacam cara diciptakan untuk mengeruk keuntungan yang besar dari nasabah. Di lapangan, para pemimpin cabang memastikan setiap kredit harus ada agunan. Agunan yang siap diambil alih bila ada tanda-tanda kemacetan kredit.


Para pemilik bank seolah tak peduli dengan pembentukan kewirausahaan, pengembangan bank atau pengembangan ekonomi rakyat karena yang mereka utamakan adalah laba. Laba, untung dan profit adalah kosa kata utama para pemilik bank. Oleh sebab itu, kredit konsumtif semakin tinggi jumlahnya. Dan banyak sekali namanya. Sebagian besar berbentuk nama samaran.


Masing-masing bank menciptakan nama produk yang bagus dan menarik serta sulit ditebak artinya agar aspek konsumtifnya tak kentara. Ada Kredit Mikro, Multiguna, Kopkar, Kretap, KTA, Implan, bahkan ada Murabahah Plus. Semua jenis kredit dengan berbagai nama itu utamanya adalah kredit konsumtif. Bahkan ada bank yang mentargetkan kredit untuk mengeruk uang dari para pensiunan. Subhanallah. Sudah bau tanah orang, masih dikejarnya. Bukan tak mungkin suatu saat nanti akan muncul kredit untuk orang yang telah mati. Bank asingpun tak ketinggalan. Produk-produk mereka yang menjerat rakyat semakin banyak. Terutama sekali di daerah.


Sesungguhnya, sah-sah saja bila bank memacu keuntungan melalui kredit konsumtif karena masyarakat juga membutuhkannya. Tapi harusnya setiap pemilik bank juga perlu merenungkan untuk apa sebuah bank itu sesungguhnya. Para pemilik juga harus menjiwai bahwa sesungguhnya bank itu berdagang dengan menggunakan uang orang lain. Uang rakyat karena modal pemilik hanya sebagian kecil yaitu sekitar 8% dari total asset. Selebihnya adalah tabungan, deposito dan giro milik rakyat. Artinya Pemilik bank berdagang dengan uang dari kantong orang lain. Oleh sebab itu, kepentingan rakyat banyak, kepentingan membesarkan bank itu sendiri serta kepentingan pertumbuhan ekonomi daerah harusnya menjadi sasaran utama agar penghasilan atau deviden yang diperoleh dari bank tidak menjadi subhat sifatnya.


Adalah juga fakta yang tak terbantahkan bahwa banyak bankir menjadikan rakyat kecil sebagai obyek penghasilan paling empuk. Ketidakpahaman rakyat akan perbankan dimanfaatkan oleh bankir secara cerdik untuk melipatgandakan keuntungan. Melalui berbagai cara yang hanya fokus pada pemupukan keuntungan. Buktinya keuntungan bank semakin besar, triliunan jumlahnya tapi nasib petani, pedagang, nelayan dan sejenisnya tetap sama. Tak berubah.


Semakin ke akar rumput jangkauan bank akan semakin kecil jumlah kredit tapi semakin tinggi bunga yang dibebankan. Bila kredit kepada konglomerat hanya dengan bunga 8% per tahun, kredit mikro mencapai 2,5 % perbulan. Bahkan kredit konsumtif dengan berbagai nama (meyamarkan aspek konsumtifnya) membebankan bunga sampai 4 % perbulan. Para bankir tak peduli dengan nasib rakyat yang tak berubah pada hal bank memperoleh keuntungan yang sangat tinggi. Rakyat, nasabah bank, tetap miskin, sedangkan bank beruntung triliunan. Apapun namanya bank adalah bank.


Lain lagi ulah bank asing. Citibank menggunakan algojo untuk menakut-nakuti rakyat yang berhutang. Rakyat menjadi korban. Karena kartu kredit dibebankan bunga yang sangat tinggi, jelas timbul kredit macet.


Filosofi Kemaslahatan Umat


Republik ini dan dunia butuh bank yang betul-betul pro-rakyat tapi tetap untung agar bisa berkembang. Tak mungkin bank dibiarkan memanfaatkan rakyat kecil sesukanya. Dan tak bisa pula bank menjadi lembaga sosial. Tapi jelas tak elok bila bank dibiarkan mencari keuntungan besar di atas penderitaan rakyat. Sudah saatnya pemerintah memastikan agar ada ukuran keberhasilan bank dalam (i) mengangkat nasib rakyat, (ii) menumbuhkembangkan jumlah dan kualitas usaha dan pengusaha dan (iii) memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan dan kualitas ekonomi. Tak mungkin bila bank dibiarkan hanya memburu laba dan mengejar deviden. Bank boleh mencari untung, dan harus, tapi harus juga ada Key Performance Indicator (KPI) dalam menyejahterakan rakyat. Khususnya di akar rumput.


Memang kita harus mulai dengan pemikiran bahwa bank adalah sebuah entiti bisnis. Untuk itu, bank harus beroperasi dengan pola pikir bisnis, beroperasi sesuai kaidah-kaidah bisnis yang sehat dan melakukan berbagai ikhtiar untuk memperoleh keuntungan. Tapi adalah tanggungjawab para pemilik bank (karena menggunakan dana rakyat) dan para manajemen bank serta semua pihak yang terlibat dalam operasional sebuah bank untuk mengembangkan usaha rakyat. Tidak hanya mengutamakan pembiayaan usaha miliknya. Bank harus membantu rakyat menggapai kemaslahatan.


Oleh sebab itu, bank juga harus memiliki ruh. Nilai-niai sufi yang tinggi untuk membangun kemaslahatan umat. Dalam mencari keuntungan dan mengembangkan usaha, bank harus memiliki karya-karya menjulang, ukuran prestasi dalam membangun usaha, mengembangkan usahawan dan menjangkau rakyat, standar moralitas, ukuran-ukuran keadaban serta idealisme kemanusiaan. Semua ini bisa dicapai bila semua yang terkait dengan organisasi dan manajemen serta operasional bank, baik langsung maupun tidak langsung, memilik kejujuran, kemampuan profesional dan motivasi kebersamaan yang tinggi serta idealisme yang sama.


Dalam kerangka inilah, Bank Indonesia Padang bersama Bank Nagari melakukan upaya ekstra untuk menjangkau rakyat di akar rumput. Merancang pinjaman untuk koperasi peternak sapi dan kaum akar rumput lainnya di berbagai daerah. Para petani itu tak akan pernah lolos sebagai calon nasabah bankable tanpa dijangkau oleh bank. Tanpa dibina dan dikembangkan terlebih dulu. Tanpa uluran tangan bankir yang punya hati. Tak mungkin seorang rakyat petani menjadi nasaban bank tanpa para bankir berupaya secara ikhlas turun ke lapangan, kekandang sapi, mencarikan kombinasi pembiayaan dengan bunga yang terjangkau. Artinya dari awal pola pikir dalam menjangkau rakyat ini adalah bahwa ini merupakan tanggung jawab moral pemilik, direksi dan pejabat bank yang berdagang dengan uang dari kantong orang lain. Ya tanggung jawab moral kita semua. Mudah-mudah contoh-contoh kecil yang telah dimulai oleh Bank Indonesia tidak menjadi judul lagu: Layu Sebelum Berkembang.

Hotel Judi Marina Bay Sands, Singapura.

1 komentar:

septy-andriani's worLd mengatakan...

assalamm paK Romeo yg terhormat... :) saya adalah salah satu mahasiswi Unand Padang yang mendapat beasiswa BI tahun 2010 pak... saya ingin tanya pak,, knpa tak ada kbr lanjut perpanjangan beasiswa itu y pak?? padahal syarat2 lanjutannya sudah dikirim... saya sangat membutuhkannya pak. apalagi skrg semester baru pak.. Mohon konfirmasinya ya pak.. mkasi ya pak.
oya pak, saya mendengar kabar kalau masa jbtan Bpk d BI padang berakhir sampai bulan Mei ya pak?? duh, pdhal saya msh ingin ktemu bapak :(.

Posting Komentar

Apa komentar Anda mengenai tulisan di atas?