28 Desember 2010

Syariah Mencari Panglima

25 Agustus 2010. Saya kumpulkan semua pimpinan bank syariah yang ada di Sumbar di ruang kerja saya. Enam bank umum dan enam BPR. Mereka agak terkaget ketika saya minta masing-masing melaporkan kinerja selama saya bertugas jadi Pemimpin Bank Indonesia Padang. Yaitu sejak Agustus 2009. Jadi para bankir di jalan Rasulullah ini harus menunjukkan berapa besar peningkatan kinerja mereka selama 12 bulan. Pertanyaan saya adalah apakah perbankan syariah mampu berkembang di Ranah Minang ini? Atau ABS-ABK itu hanya kata pemanis ketika berpidato?

Sebagian dari wajah para bankir kekasih Azza Wajalla ini makin terperanjat ketika saya menyatakan data kinerja tersebut akan saya laporkan kepada Gubernur Sumbar yang baru. “Kita akan undang Gubernur buka bersama hari Kamis besok dan saya akan laporkan apakah ada kinerja perbankan syariah atau hanya antimun bungkuak dalam tatanan ekonomi Ranah Minang”, saya berkata dengan wajah bersungguh dengan nada suara agak meninggi.

Lumrah, ada dua reaksi. Bankir yang berprestasi tinggi, sumringah, yang kurang, terperangah. Karena kinerja dalam menjangkau rakyat, bukti pembiayaan usaha ummat, angka-angka pembiayaan ekonomi rakyat badarai adalah ukuran utama perbankan syariah. Tidak seperti perbankan konvensional yang sudah bisa berbangga ketika berhasil mengumpulkan dana rakyat (funding), bank syariah baru akan berbangga bila sudah mampu meningkatkan kemaslahatan ummat.

Saya mulai berdakwah. Para manajer bank syariah itu menjadi pendengar yang baik. Saya mulai dengan Fiqih Romeo Rissal Pandjialam. Tidak terlalu canggih, tapi cukup untuk membuat mereka merenung dan juga menyemangati para bankir itu untuk lebih memacu prestasi. Lebih memacu upaya menjangkau rakyat badarai, membiayai usaha-usaha kecil dan sejenisnya. Lalu ceramah saya berlanjut dengan ajakan. Ajakan untuk bersama-sama membangun usaha rakyat. Hanya dengan kebersamaan kita bisa mengembangkan sistem ekonomi syariah di Sumbar. Pencermatan saya selama satu tahun adalah bahwa ada jarak antara Pemda dengan Bank. Hal ini diakui oleh Bapak Gamawan Fauzi ketika saya pertama kali berkunjung ke kediaman beliau tahun lalu.

Saya melanjutkan dakwah. “Ya , ini era baru dengan Gubernur baru. Saya meyakini Gubernur baru ini sangat paham akan pentingnya membangun ekonomi berbasis syariah. Insya Allah beliau bersedia menjadi Panutan perjuangan menuju ekonomi Ranah Minang berbasiskan prinsip-prinsip syariah. Beliau sasurau dengan kita”, demikian saya semakin berceloteh dengan keyakinan bahwa ekonomi syariah akan berkibar. Agak sedikit sok tahu memang, karena ciloteh yang terakhir ini tak lain hanya berdasarkan feeling. Feeling yang tiba-tiba muncul ketika saya bersalaman dengan Profesor asli Kuranji itu untuk pertama kali ketika kebetulan bertemu di BIM. Entah kenapa, timbul sebuah keyakinan. Muncul sebuah bayangan bahwa ruh ekonomi syariah akan lebih menggeliat di Ranah yang saya yakini adat istiadat serta kehidupannya sudah bersandi syariah ini sedari dulu.

Hari berikutnya masing-masing Branch Manager bank syariah menyampaikan laporan. Kinerja satu tahun. Subhanallah. Luar biasa. Seorang Pandjialam bergumam. “Terbukti, Ranah Minang adalah lahan sangat subur untuk bank syariah”. Selama ini mungkin yang kurang adalah kebersungguhan saja. Buktinya, dalam waktu yang relatif pendek, bila kita bersungguh, ternyata pertumbuhan perbankan syariah sangat mengagumkan. Saya bahkan sempat melamun jauh ke depan. Timbul keyakinan yang lebih mendalam bahwa bila kita bersungguh, berbagai anggapan miring bahwa bank syariah sulit tumbuh di Ranah Minang, tertepis dengan sendirinya. Bayangkan dalam hanya 12 bulan, Juli 2009 sampai Juli 2010, prestasi bank syariah melejit. Mulai dari Asset melejit sampai 63,09%, DPK naik sampai 50,87%, pembiayaan juga mencapai 50,49% dan bahkan jumlah kantor sudah tidak hanya di tiga kota, Padang, Bukittinggi dan Payakumbuh. Bank syariah sudah masuk ke kabupaten. Pertumbuhan yang cukup fenomenal. Alhamdulillah, sekali lagi, Ranah Minang terbukti sebagai lahan sangat subur untuk perbankan syariah.

Saudaraku. Pendek kata, harusnya tak ada lagi keraguan akan sistem ekonomi Rasulullah ini. Sebesar biji bayampun. Tak ada lagi komentar-komentar miring tentang perbankan syariah. Cermati dan renungkanlah angka-angka di atas. Inipun baru hanya langkah awal. Harusnya, tak ada lagi tanda tanya tentang keagungan konsep perbankan yang niatnya tak lain untuk kemaslahatan ummat. Perbankan syariah bukanlah bisnis korporasi yang berjiwa kapitalis yang hanya mengumpulkan kekayaan, bukan juga ekonomi yang neolib. Ia hadir untuk menjangkau rakyat badarai. Tinggal lagi di Ranah ABS-SBK ini, perbankan syariah masih mencari Panutan. Ekonomi syariah mencari Panglima yang akan berjalan di depan menunjukkan jalan. Panglima yang ditinggikan seranting dan didahulukan selangkah, menunjukkan arah. Saya mengimani bahwa suatu saat Ranah Minang akan menjadi percontohan penerapan ekonomi syariah. Insya Allah.

Selengkapnya »

20 Desember 2010

Ramadhan dan Naluri Bisnis

Entah dari mana awalnya, hampir di setiap pelosok Ranah Minang, bulan suci Ramadhan identik dengan munculnya pedagang dadakan. Di pasar, di kantor-kantor, bahkan di jalanan. Di Padang, orang-orang bernaluri bisnis itu memadati pinggir-pinggir jalan utama. Ada yang menjual cemilan dengan berbagai bentuk. Sangat kreatif. Ada yang mempromosikan kue-kue lebaran walau puasa belum mulai. Ada yang menawarkan pakaian hari Raya. Pokoknya pedagang-pedagang instan berkibar.

Hebatnya lagi, banyak makanan yang mereka jual memliki cita rasa tinggi. Sero bana. Bahkan saya pernah menemukan berbagai camilan yang sangat enak di pinggiran jalan. Rasa yang tak sebanding dengan harga. Pedagangnyapun dari berbagai kalangan. Ada ibu rumah tangga, karyawan dan bahkan mahasiswa. Semua berjualan. Dari penampilan, kemungkinan banyak pula yang berasal dari keluarga yang berkecukupan. Tercermin dari penampilan. Banyak yang berjualan dengan mobil.

Tapi uniknya setelah lebaran, para pengusaha instan ini menghilang. Kita tak tahu lagi dimana tempat membeli lapek bugih kesukaan selama Ramadhan. Kemana perginya sala lauak, es rumput laut, bubua kampiun dan lain-lain itu. Si "lamak bana" itu telah menghilang seiring kumandang Idul Fitri. Si pebisnis musiman yang cantik dan lincah di Jl. A. Yani itu mungkin bersiap-siap kembali ke bangku kuliah. Atau mencari pekerjaan golongan III A sebagai suaka kehidupan. Naluri bisnis itu seakan hilang ditelan hingar bingar beduk hari yang Fitri itu.

Kadang bagi saya jadi terpikir mengapa pemerintah atau asosiasi bisnis, yang waktu pelantikan pengurusnya selalu hiruk pikuk dengan baju seragam baru, tak merangkul mereka. Memupuk naluri dan kemampuan bisnis yang sudah mulai berkembang itu. Karena naluri bisnis itu sesungguhnya adalah aset Ranah Minang. Mengapa pemerintah tidak mengurangi seminar, studi banding dan sejenisnya, lalu memanfaatkan dana yang ada untuk membina pebisnis kuliner itu? Mengapa para ketua asosiasi bisnis tidak mampu (mau) menjangkau mereka? Atau mungkinkah ada perguruan tinggi yang bersedia menjadi pembina mereka?

Saya telah mencoba merangkul pebisnis-pebisnis kuliner mikro kecil di Kota Padang. Sebuah upaya kecil-kecilan. Ada tukang soto, tukang sate, tukang aie tawa, tukang cendol dan sejenisnya. Ternyata, temuan saya luar biasa. Kuliner Minang ini seharusnya dapat dijadikan sebagai keunggulan Sumbar. Bila dibina secara bisnis, bukan sebagai proyek, niscaya menjadi sebuah kekuatan ekonomi Sumbar yang dahsyat.

Hajjah Noraini, seorang pengusaha kuliner dan pemilik usaha makanan Malaysia yang sudah cukup besar bahkan meyakini kekayaan kuliner Sumbar ini sangat luar biasa. Ketika saya ajak berkunjung ke Minang Kuliner, di Jl. Veteran 69, Noraini sangat terkesan dengan variasi kuliner Minang. Dia menyatakan bahwa kalau di Malaysia, usaha seperti bisa dipastikan dibantu pendanaan atau peralatannya oleh kerajaan Malaysia. "Tak sulit dapat wang sepanjang usahanya jelas", jelas Noraini yang orang tuanya berasal dari Payokumbuah itu. Kapankah negeri kita tercinta ini bisa belajar dari Kerajaan itu? Kapan, kapan, kapan?

sebuah catatan kecil di bulan suci

Selengkapnya »

02 Desember 2010

Gubernur Baru, Untuk Sebuah Asa Yang Tersisa

September 2005. Aku menulis di Padang Ekpres. Antara lain berharap agar Bank Nagari membuka unit syariah. Bank Nagari menjadi “prime mover” ekonomi kerakyatan Sumbar. Karena aku mengimani bahwa ekonomi Ranah Minang pada hekekatnya adalah ekonomi berbasis syariah. Cukup lama kita menanti bank milik urang awak ini terbuka hatinya untuk bersyariah dalam bisnis.

Agustus 2009, Allah mentakdirkan aku bertugas di Bank Indonesia Padang. Alhamdulillah, pulang kampung, aku menemukan unit syariah di Bank Nagari. Tertatih-tatih, memang. Bersyukur dan sekaligus sangat gundah. Apa pasal? Aset Bank Nagari Syariah hanya Rp62 miliar. Sangat kecil untuk ukuran sebuah bank. Di Sumbar ini bahkan ada BPR dengan aset sama. Di Medan, dimana aku pernah menjadi perantau, Rp62 miliar adalah nilai satu rekening dari seorang nasabah pengusaha keturunan Cina di bank syariah.

Tak pelak lagi, sejak akhir tahun 2009, aku minta komitmen pengurus Bank Nagari. Tertulis, agar meyakinkan. Bersungguh dengan syariah atau tak usah sama sekali. Alhamdulillah, pengurus Bank Nagari menyatakan akan bersungguh dengan perbankan syariah. Ini penting, karena begitulah ajaran luhur agama kita. Manjadda wajada. Ketidakbersungguhan dalam banyak hal merupakan penyebab utama mengapa negeri ini masih dengan tingkat kesejahteraan rata-rata air. Tak mungkin ada keberhasilan tanpa kebersungguhan.

Kebersunguhan”, juga permintaanku kepada jajaran Bank Sumut ketika aku menjadi Pemimpin Bank Indonesia Medan 2006-2009. Akhirnya, semua cabangnya dijadikan unit syariah. Ditunjuk Direktur Syariah. Petugasnya dilatih ilmu perbankan syariah. Ada berbagai proyek ekonomi kerakyatan yang dilakukan Bank Sumut Syariah secara bersungguh. Adak kluster sapi di Langkat, kluster singkong di Serdang Bedagai, BMT untuk pedagang di Pasar Petisah, pembinaan entrepreneur muda dan banyak lagi yang lain-lain.

Januari 2010. Bersyukur, Bank Nagari juga membuktikan kebersungguhan itu. Semua cabang Bank Nagari sudah menyediakan pelayanan perbankan syariah. Ada rekrutmen untuk Account Officer (AO) syariah. Ada pelatihan dan bahkan aku diminta menjadi Instruktur di Lapau Gadang. Ada pasukan bermotor untuk KUR Syariah. Direksi berinisiatif dengan target pertumbuhan sangat tinggi untuk tahun 2010. Di atas 300% untuk mengejar ketertinggalan. Subhanallah. Target tertinggi untuk sebuah bank yang pernah aku kenal. Sebuah komitmen dan semangat yang luar biasa dari bank yang kita harapkan mampu menjadi Leader untuk perbankan syariah. Kalau tidak, bank ini akan tertinggal jauh dari dua BPD lain yang juga di bawah pengawasanku. BPD Riau dan BPD Jambi. Wakil Gubernur kedua Provinsi tersebut sudah berbicara denganku untuk lebih fokus pada perbankan syariah. Dua Wagub yang paham akan peran perbankan sayriah untuk ekonomi rakyat mereka.

Tapi Sumbar memang beda dengan Sumut. Perbedaannya adalah bahwa di negeri yang penduduk non-Muslimnya lebih dari 30% itu, Bank Sumut Syariah mendapat banyak partner di Pemda. Banyak kawan. Partner yang tidak hanya di mimbar atau di lembaran pidato yang kerap dibacakan para asisten, tapi di lapangan. Di dunia nyata, di kebun singkong rakyat, kebun sawit rakyat, di daerah peternakan, di pasar-pasar tradisional dan sejenisnya. Sejak Gubernur Rudolf Pardede yang notabene Kristiani sampai kepada Gubernur Syamsul Arifin yang Pak Haji, Wali Kota Medan, Bupati Serdang Bedagai, Padang Sidimpuan, Mandailing Natal dan lain-lain. Para petinggi daerah ini mengajak aku ke daerah mereka untuk membangun dengan jasa perbankan syariah. Tapi di Ranah Minang, subhanallah. Belum satupun. Tak mudah mencari kawan dalam syariah di negeri ABS-SBK ini.

Juli lalu, Azwar Anas, mantan Gubernur yang masih sangat intens berusaha memajukan ekonomi Sumbar, mengunjungi aku di kantor. Mungkin tanpa menyadari bahwa aku adalah mantan PBI Medan, beliau bercerita bagaimana majunya perbankan syariah di Sumut. Suara beliau bangga dan wajah sumringah. Terang, aku turut bangga. Dan beliau berharap agar Sumbar mampu mengikuti jejak Sumut itu. Dan ketika aku jelaskan bahwa BPR syariahpun enggan lahir di Padang kota tercinta, beliau terperanjat. Terperangah, persisnya. Alhasil, beliau meniatkan untuk melahirkan BPR syariah pertama di Kota Padang. Alhamdulillah, aku dapat partner pertama. Seorang mantan penguasa.

Saudaraku. Tolong tunjukkan aku jalan. Nasihat aku. Ajari aku. Sedekahi aku kiat. Aku tunggu nasihatnya di: romeorissal@gmail.com. Atau tulis nasihat atau idenya di FES ini. Bagaimana caranya mendapatkan partner syariah di Pemda dalam rangka membumikan perbankan syariah di negeri ABS-SBK ini. Bagaimana caranya mendapatkan Bupati atau Walikota yang dengan mata hati jernih melihat perbankan syariah sebagai motor pembangunan ekonomi rakyat. Bagaimana caranya mengajak pedagang pasar masuk ke bank syariah. Apa rahasianya agar pengusaha Pondok, yang dalam kehidupan sehari-hari sangat menyatu sebagai orang Minang, tidak melihat bank syariah itu hanya untuk orang Muslim. Tidak membatasi diri pada bank-bank besar saja. Di Medan tak terasa persepsi itu. Banyak pengusaha keturunan Cina masuk bank syariah. Karena bank syariah adalah bank yang universal. Rahmatalil’alamin.

Tapi saudaraku. Tetap masih ada keyakinan dalam diri ini bahwa Sumbar akan mampu menjadi leader dalam pengembangan ekonomi syariah. Suatu hari nanti. Bank Nagari menjadi Bank Regional terkemuka sampai ke negeri Semiblan, Selangor seperti kami cita-citakan sejak 15 tahan lalu. Ketika aku diminta gubernur Hassan Basri Durin sebagai konsultan, merancang masa depan bank milik Pemda ini. Ketika BPD Sumbar kami beri gelar Bank Nagari. Ketika, 15 tahun lalu itu, bank ini kami jadikan BPD satu-satunya dan yang pertama merantau keluar provinsi. Membangun tiga cabang di Jakarta.

Dunsanakku. Asa itu tetap ada. Bank Nagari menjadi Bank Regional. Leader dalam perbankan syariah. Ada asa akan munculnya partner dalam syariah. Ada Bupati baru, Walikota baru. Bahkan ada Gubernur baru untuk sebuah asa yang tersisa. Insya Allah.

Bukittinggi, sebuah doa menjelang Ramadhan.

Selengkapnya »