20 Desember 2010

Ramadhan dan Naluri Bisnis

Entah dari mana awalnya, hampir di setiap pelosok Ranah Minang, bulan suci Ramadhan identik dengan munculnya pedagang dadakan. Di pasar, di kantor-kantor, bahkan di jalanan. Di Padang, orang-orang bernaluri bisnis itu memadati pinggir-pinggir jalan utama. Ada yang menjual cemilan dengan berbagai bentuk. Sangat kreatif. Ada yang mempromosikan kue-kue lebaran walau puasa belum mulai. Ada yang menawarkan pakaian hari Raya. Pokoknya pedagang-pedagang instan berkibar.

Hebatnya lagi, banyak makanan yang mereka jual memliki cita rasa tinggi. Sero bana. Bahkan saya pernah menemukan berbagai camilan yang sangat enak di pinggiran jalan. Rasa yang tak sebanding dengan harga. Pedagangnyapun dari berbagai kalangan. Ada ibu rumah tangga, karyawan dan bahkan mahasiswa. Semua berjualan. Dari penampilan, kemungkinan banyak pula yang berasal dari keluarga yang berkecukupan. Tercermin dari penampilan. Banyak yang berjualan dengan mobil.

Tapi uniknya setelah lebaran, para pengusaha instan ini menghilang. Kita tak tahu lagi dimana tempat membeli lapek bugih kesukaan selama Ramadhan. Kemana perginya sala lauak, es rumput laut, bubua kampiun dan lain-lain itu. Si "lamak bana" itu telah menghilang seiring kumandang Idul Fitri. Si pebisnis musiman yang cantik dan lincah di Jl. A. Yani itu mungkin bersiap-siap kembali ke bangku kuliah. Atau mencari pekerjaan golongan III A sebagai suaka kehidupan. Naluri bisnis itu seakan hilang ditelan hingar bingar beduk hari yang Fitri itu.

Kadang bagi saya jadi terpikir mengapa pemerintah atau asosiasi bisnis, yang waktu pelantikan pengurusnya selalu hiruk pikuk dengan baju seragam baru, tak merangkul mereka. Memupuk naluri dan kemampuan bisnis yang sudah mulai berkembang itu. Karena naluri bisnis itu sesungguhnya adalah aset Ranah Minang. Mengapa pemerintah tidak mengurangi seminar, studi banding dan sejenisnya, lalu memanfaatkan dana yang ada untuk membina pebisnis kuliner itu? Mengapa para ketua asosiasi bisnis tidak mampu (mau) menjangkau mereka? Atau mungkinkah ada perguruan tinggi yang bersedia menjadi pembina mereka?

Saya telah mencoba merangkul pebisnis-pebisnis kuliner mikro kecil di Kota Padang. Sebuah upaya kecil-kecilan. Ada tukang soto, tukang sate, tukang aie tawa, tukang cendol dan sejenisnya. Ternyata, temuan saya luar biasa. Kuliner Minang ini seharusnya dapat dijadikan sebagai keunggulan Sumbar. Bila dibina secara bisnis, bukan sebagai proyek, niscaya menjadi sebuah kekuatan ekonomi Sumbar yang dahsyat.

Hajjah Noraini, seorang pengusaha kuliner dan pemilik usaha makanan Malaysia yang sudah cukup besar bahkan meyakini kekayaan kuliner Sumbar ini sangat luar biasa. Ketika saya ajak berkunjung ke Minang Kuliner, di Jl. Veteran 69, Noraini sangat terkesan dengan variasi kuliner Minang. Dia menyatakan bahwa kalau di Malaysia, usaha seperti bisa dipastikan dibantu pendanaan atau peralatannya oleh kerajaan Malaysia. "Tak sulit dapat wang sepanjang usahanya jelas", jelas Noraini yang orang tuanya berasal dari Payokumbuah itu. Kapankah negeri kita tercinta ini bisa belajar dari Kerajaan itu? Kapan, kapan, kapan?

sebuah catatan kecil di bulan suci

1 komentar:

reni sunarty mengatakan...

jeritan hati bapak takkan mampu diindahkan oleh para penguasa selama paradigma penguasa negeri ini tidak diubah. rata-rata yg terjadi adalah memperkaya yang kaya, memiskinkan yg miskin. contoh konkrit, usaha kecil cafe dipadang dibuat oleh satu2nya mahasiswa s2 yg dianya terjun langsugn menjajakan makananya hingga bisa dikenal oleh masyarakat dan tanpa punya pengalaman dibidang kuliner dy gigih dan tetap bersemangat. cafe dibukanya disalah satu mal besar di kota padang kebetulan pada saat itu lagi promosi dan didapatlah harga sewa yg relatif murah.dy korbankan uang kuliah S2nya untuk modal cafe. pada saat beroperasi dia terjun langsung dibantu oleh 1 2 orang karyawannya, dia terus belajar dan belajar, meskipun diawal buka tak sedikit pengunjung yg komplain dengan masakan yg kurang ini dan itu, namun ia tetap semangat dan terus merubah resep masakan dan terus melakukan inovasi, alhamdulillah cafenya mulai ramai. namun ada hal yg dia tdk ketahui di bisnis makanan di kota padang ini sangat kental dengan jampi2 jadilah cafenya korban dari jampi2 tak lama para pengunjung tiba2 menghilang dan meramai di cafe sebelahnya, tak urung niatnya tetap teruss berinovasi dan berusaha mendatangkan pengunjung lagi dan ia sama sekali tidak percaya dengan hal2 itu, namun apa boleh dikata tetap saja usahanya menurun persaingan bisnis tidak supportif samasekali,akhirnya dia tutup dan pindah mencari tempat lain. dapatlah tempat namun modal menipis sementara butuh untuk memulai usaha lagi, berupaya mendapatkan pinjaman usaha kecil di beberapa tempat, jawabannya adalah dibantu hanya usaha yg telah berjalan, sangat sedih hatinyam lalu bagaimana dengan dia yg tetap mau berusaha kembali namun tidak ada satupun yg mau membantu karena alasan takut resikonya tidak kembalilah dan lain sebagainya...akhirnya usaha cafenya tidak jalan, untuk menutupi hidupnya dan uang kuliahnya, hal yg tidak ingin dilakukannya namun terpaksa harus dilakukannya adalah menjual satu persatu asetnya. kembali dari cerita fakta ini pak, paradigma penguasa melalui kebijakannya tidaklah membangun. adapun yg mau bantu dengan resiko bunga yg sangat tinggi seperti makelar,bank jg tak kalah sama dengan makelar. akankah ada yg bisa merubah paradigma bangsa ini? wallahu alam bissawab.

Posting Komentar

Apa komentar Anda mengenai tulisan di atas?