14 Mei 2010

Pasar, Pasa atau Pakan

Pasar adalah motor sistem ekonomi syariah yang sesungguhnya. Minimum ada 25 pasar yang senantiasa menjadi binaan Rasulullah. Beliau berkeliling dari satu pasar ke pasar yang lain. Berdagang dan membina para pedagang. Membina untuk meningkatkan kesejehateraan pedagang. Membantu mereka agar mampu meningkatkan usaha. Dan juga membina untuk meluruskan prilaku atau tabia't pedagang. Agar mereka lebih syariah. Yaitu (1) jujur dalam berjual beli dan (2) taat membayar hutang dan (3) bersungguh mengembangkan usaha. Karena kejujuran,ketaatan dalam membayar hutang dan kebersungguhan adalah fondasi moral dalam berdagang di jalan Rasulullah.

Secara historis, pasar juga menjadi ruh sistem perekonomian Ranah Minang. Pasar atau Pakan atau Pasa dalam istilah yang lebih akrab, hadir hampir di setiap nagari. Inilah keistimewaan Ranah Minang. Ada Pakan Sinayan, Pakan Salasa, Pakan Rabaa dan seterusnya. Inilah salah satu bukti bahwa ekonomi Ranah Minang sejatinya adalah ekonomi syariah. Hanya saja karena pengaruh penjajahan yang begitu lama, masyarakat Minang menjadi terbiasa dengan sistem ekonomi konvensional yang bersifat kapitalistik. Dan para pedagangpun lebih suka menjadi nasabah bank konvensional.

Ketika orang Minang merantau, mereka juga mencari Pakan. Hampir di semua pasar besar di DKI, urang awak adalah penghuni mayoritas. Di Kota Medan, misalnya, di 21 dari 25 pasar yang lumayan besar, urang awak menempati jumlah terbanyak. Inilah salah satu alasan saya menggagas "Program Bank Syariah Masuk Pasar" bersama Walikota Medan, Drs. Abdillah sejak tahun 2007. Disamping itu, pola pinjaman pedagang pasar tak bisa dipenuhi oleh bank. Bank menyatakan mereka non-bankable. Pedagang butuh dana jangka pendek, bahkan ada hanya untuk pinjaman satu hari karena ada barang "kantau". Untuk para pedagang di kota Medan, BMT adalah salah satu solusinya. Kami membantu pedagang membangun BMT milik pedagang, lalu bank syariah menyalurkan dana. Pedagang pasar butuh modal.

Di Ranah Minang, nasib orang pasar hampir. Berdagang turun temurun, jarang yang "naik kelas". Bank segan memberikan pinjaman. Ketika diundang sebagai pembicara oleh Asosiasi Pedagang Pasar Tradisional (APPSI) di Jakarta, saya mendapat keluhan dari para peserta yang mewakili semua propinsi di Indonesia. Keluhan mereka adalah bahwa bank tidak mempercayai mereka dan banyak pasar tradisional yang digusur dan dijadikan Mall oleh para Cukong yang bekerjasama dengan Pemerintah. Sebagian pasar tergusur oleh usaha Cukong. Sebagian pasar kebakaran. Secara berkala pula.

Dalam empat bulan terakhir bekerja di Sumbar, saya menerima tamu di Bank Indonesia dan berdiskusi dengan pedagang dari berbagai pasar. Saya juga berkunjung ke Pasa Pauah Kamba, Pasa Aua Kuniang, Sentra Pasar Raya, Pasa Batusangka, Pasa Padang Panjang,Pasa Payakumbuah, Pasa Solok, Pasa Bawah Bukittinggi dan lain-lain. Keluhan mereka hampir sama. Sebagian Pasar becek, kalau hujan kebanjiran. Pedagang kesulitan memperoleh modal kerja. Dan kalau ada yang memperoleh injaman dari bank, bunganya selangit. Ada juga yang terpaksa meminjam dari Rentenir dengan bunga mencapai 20% per bulan. Masya Allah.

Sesungguhnya banyak yang bisa kita lakukan untuk meningkatkan pertumbuhan usaha pasar tradisional di Ranah Minang. Di Medan, saya mencoba dengan pendekatan lembaga keuangan mikro. Program ini membuktikan bahwa pasar tradisional mampu membangun lembaga keuangan sendiri yaitu BMT. Dana bank syariah mulai mengalir ke beberapa pasar. Tapi untuk ini dibutuhkan adanya asosiasi pedagang di setiap pasar. Kita tunggu asosiasi pedagang pasar tradisional yang berniat mengembangkan usaha anggotanya. Kita bisa duduk bersama. Kita butuh para pedagang yang memiliki semangat untuk membangun dan meningkatkan usaha pasar tradisional. Secara syariah tentunya.

0 komentar:

Posting Komentar

Apa komentar Anda mengenai tulisan di atas?